Analisis Jurnal KASUS NEWMONT (Pencemaran di Teluk Buyat)





Judul Jurnal         KASUS NEWMONT (Pencemmaran di Teluk Buyat)

Penulis Jurnal      Kiki Lutfillah

Penerbit Jurnal     Jurnal Kybernan, Vol. 2, No. 1, Maret 2011  


Analisis

PT. Newmont Minahasa Raya (PT. NMR) adalah perusahaan kontrak karya pertambangan emas yang berlokasi di Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Bolaang Mongodow, Propinsi Sulawesi Utara. Kontrak Karya (KK) antara PT. NMR dengan Pemerintah Republik Indonesia ditandatangani pada tanggal 2 Desember 1986. Dokumen AMDAL PT. NMR disetujui pada tanggal 17 November 1994. PT. NMR telah mulai berproduksi sejak mulai bulan Maret 1996

Jurnal ini sebernarnya lebih membahas aspek politik dan hukum yang memjadi latar belakang penulis, namun saya akan membahas dari aspek pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT. Newmont Minahasa Raya (PT. NMR).  Dalam kasus Newmont yang terjadi sejak tahun 1997 dan bergulir 2004 ini pemerintah gagal membuktikan bahwa PT. NMR telah melakukan kejahatan korporasi yang memnybabkan kerugian materil dan imateril dalam hal ini adalah kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa penegakan hukum di Indonesia masih sangat lemah kala itu dan korbannya bukan hanya masayarakat Minahasa kala itu namun secara luas saat ini masih terasa dampak kerusakan dan pencemaran tersebut yang disebabkan pembuangan limbah Tailing ke laut lepas. Kita akan bahas satu per satu dari aspek pencemarannya


Permasalahan PT. NMR dari Aspek Lingkungan

Sistem Penempatan Limbah Bawah Laut/Tailing dimana PT. Newmont Minahasa Raya (PT. NMR) adalah perusahaan tambang emas yang menerapkan Sistem Penempatan Tailing Bawah Laut/ Submerine Tailing Placement (STP) terhadap hasil akhir proses pengolahan emas yang dilakukan. Tailing PT. NMR berupa lumpur kental (slurry) yang terdiri atas air dan partikel batuan yang sangat halus (>70 mikron) yang dihasilkan dari proses penghancuran, penggilingan dan pemanggangan terhadap batuan-batuan yang mengandung emas. Perbandingan antara padatan dan cairan dari tailing ini adalah kurang lebih 40% padatan dan 60% cairan.

Penempatan tailing dalam bentuk lumpur kental (slurry) disalurkan lewat pipa didasar laut sampai kedalaman 82 meter dan dengan perbedaan densitas antara tailing dan air Iaut membuat tailing mengendap ke dasar Iaut.

Bagian penting dari suatu proses pengelolaan emas adalah dimana tailing akan ditempatkan sesudah proses produksi. PT. Newmont Minahasa Raya merupakan perusahaan tambang yang memanfaatkan dasar laut sebagai media untuk menempatkan tailing yang dihasilkan dari proses penambangan.

Dalam dokumen AMDAL disebutkan bahwa tailing hasil pengolahan bijih emas akan ditempatkan di bawah laut melalui pipa, dengan ujung pipa pada kedalaman 82 meter di bawah permukaan laut pada jarak sekitar 800 meter dari pantai. Sistem penempatan tailing dibawah ini disebut Submarine Tailing Placement (STP). Pemilihan sistem ini didasarkan pada pertimbangan kondisi lingkungan di sekitar pertambangan.

Dampak utama yang penting dari sistem ini adalah pengendapan dan penimbunan yang timbul akibat penempatan tailing didasar laut. Submarine Tailing Placement (STP) atau Submarine Tailing Disposal (STD) atau sistem pembuangan limbah tailing ke dasar laut, pertama-tama digunakan pada tahun 1971 oleh perusahaan tambang emas “Island Copper Mine” (ICM), Canada, dimana merupakan basis dari STD didesain dan dikembangkan untuk kegiatan pertambangan emas di daerah pesisir.


Pengertian Tialing

Tailing adalah satu jenis limbah yang dihasilkan oleh kegiatan tambang. Selain tailing kegiatan tambang juga menghasilkan limbah lain, seperti: limbah batuan keras (overburden), limbah minyak pelumas, limbah kemasan bahan kimia, dan limbah domestik. Limbah-limbah itu hanyalah salah satu bagian dari sekian banyak permasalahan pertambangan yang ada.

Tailing sebenarnya merupakan limbah yang dihasilkan dari proses penggerusan batuan tambang (ore) yang mengandung bijih mineral untuk diambil mineral berharganya. Tailing umumnya memiliki komposisi sekitar 50% batuan dan 50% air sehingga sifatnya seperti lumpur (slurry). Sebagai limbah, tailing dapat dikatakan sebagai sampah dan berpotensi mencemarkan lingkungan baik dilihat dari volume yang dihasilkan maupun potensi rembesan yang mungkin terjadi pada tempat pembuangan tailing. Tailing hasil ekstraksi logam seperti emas dan nikel umumnya masih mengandung beberapa logam dengan kadar tertentu. Logam ini berasal dari logam yang terbentuk bersamaan dengan proses pembentukan mineral berharga itu sendiri. Mineral yang mengandung emas dan perak biasanya berasosiasi dengan logam perak, besi, krom, seng dan tembaga seperti kalkokpirit (CuFeS2) dan berbagai mineral sulfida lain sehingga dapat dikatakan bahwa limbah tailing dapat mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3).

Sebagai limbah sisa batuan-batuan dalam tanah, tailing pasti memiliki kandungan logam lain ketika dibuang. Tailing hasil penambangan emas biasanya mengandung mineral inert (tidak aktif). Mineral itu antara lain:  kuarsa, klasit dan berbagai jenis aluminosilikat. Walau demikian,tidak berarti tailing yang dibuang tidak berbahaya. Sebab, tailing hasil penambangan emas mengandung salah satu atau lebih bahan berbahaya beracun seperti; Arsen (As), Kadmium (Cd), Timbal (pb), Merkuri (Hg) Sianida (Cn) dan lainnya. Logam-logam yang berada dalam tailing sebagian adalah logam berat yang masuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Pada awalnya logam itu tidak berbahaya jika terpendam dalam perut bumi. Tapi ketika ada kegiatan tambang, logam-logam itu ikut terangkat bersama batu-batuan yang digali, termasuk batuan yang digerus dalam processing plant. Logam-logam itu berubah menjadi ancaman ketika terurai dialam bersama tailing yang dibuang.

Dilain pihak terdapat pengertian bahwa tailing merupakan potensi sumberdaya yang dapat dimanfaatkan sehingga mempunyai nilai tambah sebagai produk yang dapat dimanfaatkan kembali menjadi produk lain. Dengan demikian diharapkan dapat menghasilkan nilai tambah dari hanya sekedar limbah yang tidak termanfaatkan.

Tailing sebagai sumberdaya telah mulai dimanfaatkan di beberapa perusahaan pertambangan baik di dalam maupun luar negeri. Komposisi utama tailing hasil penambangan emas umumnya adalah kuarsa, lempung silikat dan beberapa logam yang terkandung di dalamnya . Komposisi tailing seperti ini ditambah lagi dengan ukuran yang halus membuat banyak tailing dimanfaatan sebagai media tanam untuk reklamasi, pengurukan lahan reklamasi dengan sistem cutt and fill serta pembuatan bahan bangunan dan agregat. Untuk pembuatan bahan bangunan dan beton ini, tailing digunakan sebagai bahan utama dan ditambahkan beberapa bahan aditif lainnya.


Dampak Lingkungan

  • Pertama, rusaknya bentang dasar laut dan ekosistemnya. Bentang dasar laut dan ekosistemnya merupakan bagian paling rawan terpengaruh pembuangan tailing melalui sistem STD. Secara normal, ketika tailing keluar dari mulut pipa pembuangan, mengakibatkan kondisi air di sekitarnya jadi keruh. Tingkat kekeruhan air laut menghambat penetrasi cahaya matahari. Kondisi ini akan megganggu terjadinya proses fotosintesis didaerah perairan. Padahal proses tersebut ikut mengatur keseimbangan senyawa kimia dan mineral lainnya, seperti kandungan oksigen pada air laut. Akibat selanjutnya adalah keseimbangan kimia dan biologi perairan jadi terganggu. Selain itu tailing yang mengendap di dasar laut, menutup permukaan bentang dasar laut. Rantai makanan jadi terputus karenanya. Tailing didasar laut juga member! dampak buruk bagi benthos dan biota dasar laut lainnya. Bagi biota yang bisa migrasi, segera mengungsi ketika tailing datang menggangu habitatnya. Namun sebagian besar habitat dasar laut akan matimassal saat tailing datang menutupi. Dengan demikian dapat dipastikan, secara teoritik pun faktanya, STD secara sistematis merusak bentang dasar laut beserta ekosistemnya.
  • Kedua, ancaman terhadap perikanan. Dampak lain dari STD adalah turunnya hasil usaha perikanan. Nelayan Tradisional di sekitar lokasi pembuangan limbah taling menderita akibat STD. Wilayah tangkapan mereka menjadi berubah (lebih jauh dari sebelumnya), dan produktifitas tangkapan pun jadi menurun, karena rusaknya ekosistem laut. Penderitaan semakin bertambah karena sensrtifitas pasar. Hasil tangkapan ikan yang didapat dengan susah payah tidak laku di pasaran. Petaka yang melanda nelayan tradisional berdampak luas bagi sistem perdagangan lokal. Penampung dan pengecer ikan juga menerima imbas. Menurunnya pendapatan nelayan berdampak pada turunnya kemampuan daya beli mereka. Para penyedia barang dan jasa di bidang perikanan juga ikut terpengaruh. Akibatnya tata perekonomian lokal jadi terganggu. Dari sinilah proses pemiskinan struktural terjadi. Selain nelayan tradisional, pencari dan pedagang ikan komersial pun ikut menderita karena STD. Perdagangan yang berorientasi eksport tentu akan lebih keras menghadapi sensitifitas pasar. Hasil tangkapan ikan dari perairan yang diduga tercemar limbah tidak akan laku di pasaran. Lebih keras dari itu, ancaman boikot bisa setiap saat diberikan untuk seluruh produksi dari perairan laut yang bersentuhan dengan lokasi pembuangan limbah.
  • Ketiga, mengancam keselamatan hidup. Limbah tailing yang dibuang ke darat, sungai atau laut, selalu mengandung logam berat seperti Merkuri (Hg), Arsenik (As) Cyanida (Cn) dan Kadmium (Cd). Di Indonesia logam berat dikenal sebagai material Bahan Berbahaya Beracun (B3). Secara teoritis tailing yang dibuang dan masuk ke laut telah melalui proses penghilangan racun yang dikenal dengan istilah proses detoksifikas. 1.5 STD ancaman bagi sumber perikanan Teluk Buyat.
  • Keempat, degradasi habitat di ekosistem laut. STD berpengaruh pada ekosistem perairan dalam dan dasar laut, salah satu ekosistem di dunia yang paling tidak dikenal, yaitu laut tropis dalam. STD juga berdampak langsung pada mahkluk hidup laut dalam yang besar, spektakuler, dan rapuh seperti paus lumba-lumba, coelacanths, hiu laut dalam, penyu berpunggung kulit dan bill fish.







 Daftar Pustaka



Drs. Rasio Ridho Sani, MPM, M.Com. 2013. Workshop Pemanfaatan Limbah Tailing. http://www.menlh.go.id/workshop-pemanfaatan-limbah-tailing. di akses pada tanggal 12 Maret 2017 pkl. 21.00


 


Eddy Syaiful, Dkk. 2010. Struktur dan Komposisi Vegetasi Area Reklamasi Kawasan Pengendapan Tailing PT Freeport Di Kabupaten Mimika, Papua. Sainmatika, vol. 7. No 1. Juni 1010


 


Ihsan Aulia Pamayo Dan Yulinah Trihadiningrum. 2015. Stabilisasi/Solidifikasi Timbunan Tailing Penambangan Emas Rakyat Kulon Progo Menggunakan Semen Portland. JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2015) ISSN: 2337-3539



Liliani Abubakar, Dkk. 2006. Analisis Kandungan Merkuri (Hg) Pada Tumbuhan Yang Berada Di Kawasan Penambangan Emas Desa Juria



Pohan, Mangara P. 2007. Tinjauuan Pemanfaatan Tailing Tambang Bijih Untuk Bahan Bangunan Sebagai Solusi Dibidang Konstruksi – Penyidik Bumi Madya



Pohan, Mangara P. 2007. Penyelidikan Potensi Bahan Galian Pada Tailing PT Freeport Indonesia Di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua – Penyidik Bumi Madya



Rininta Larasati, Dkk. 2012. Valuasi Ekonomi Eksternalitas Penggunaan Merkuri Pada Pertambangan Emas Rakyat Dan Peran Pemerintah Daerah Mengatasi Pencemaran Merkuri (Studi Kasus Pertambangan Emas Rakyat di Kecamatan Kokap Kulon Progo). Jurnal EKOSAINS | Vol. IV | No. 1 | Maret 2012



Sagaroa, Yani. 2012. Dampak Tailing Terhadap Ekosistem Pesisir dan Kelautan. http://gendovara.com/dampak-tailing-terhadap-ekosistem-pesisir-dan-kelautan. diaskses pada tanggal 12 Maret 2017 ppukul 21.00



Tommy, M. Palapa. 2009. Bioremediasi Merkuri (Hg) Dengan Tumbuhan Air Sebagai Salah Satu Alternatif Penanggulangan Limbah Tambang Emas Rakyat. Agritek  Vol. 17 No. 5  September 20009 ISSN. 0852-5426





 Oleh : Ahsanil Fikri
NPM. 13101031021
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS WIRALODRA INDRAMAYU

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kupu-kupu sebagai Bioindikator Pencemaran Lingkungan

SAP Pencemaran Lingkungan di SMA Negeri 2 Indramayu